Jika diibaratkan sebagai sebuah ekosistem, di sekolah terjadi pola interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik ekosistem sekolah adalah murid, kepala sekolah, guru, pengawas sekolah, tenaga kependidikan, orang tua murid, komite sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Sementara faktor abiotik ekosistem sekolah adalah sarana dan prasarana, serta keuangan sekolah.
Pendekatan berbasis masalah akan fokus pada kekurangan, kelemahan, dan yang
tidak bekerja dengan semestinya, sehingga fokusnya pada hal-hal negatif.
Sedangkan pendekatan berbasis aset merupakan cara praktis menemukan dan
memanfaatkan hal-hal positif dalam komunitas, kekuatan yang dimiliki,
inspirasi, dan potensi yang positif. Pengembangan komunitas berbasis aset
menggunakan pendekatan berbasis aset dalam mengembangkan komunitasnya, yang
digerakkan oleh seluruh anggota komunitas. Tujuh modal yang dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan sekolah adalah modal manusia, sosial, lingkungan, fisik,
politik, finansial, serta agama dan budaya.
Pemimpin pembelajaran dalam
pengelolaan sumber daya
Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya memiliki makna
seseorang yang mampu memanfaatkan aset yang dimiliki secara optimal untuk
perubahan pembelajaran yang memerdekakan murid belajar, kemajuan murid,
sekolah, komunitas, dan lingkungan. Pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan
sumber daya mampu menggerakkan komunitasnya untuk bersama-sama memanfaatkan
aset secara optimal.
Untuk menjadi pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya, saya
harus menggali, mengenali, menganalisis, dan memetakan aset yang ada di sekolah
maupun di daerah sekitar sekolah. Dengan pendekatan berbasis aset, maka
modal-modal yang terpetakan dimanfaatkan dengan optimal untuk mewujudkan
pembelajaran yang berpihak pada murid.
Implikasi Pengelolaan Sumber Daya
terhadap Pembelajaran yang Berkualitas
Pengelolaan sumber daya yang tepat akan
membuat pembelajaran lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena pengelolaan
sumber daya yang tepat akan mengoptimalkan peran dan fungsi semua aset yang
dimiliki, sehingga pembelajaran berlangsung secara berdiferensiasi, bervariasi,
dan memanfaatkan potensi yang ada di sekolah maupun lingkungan sekitar sekolah.
Pengelolaan sumber daya yang tepat akan melihat potensi murid untuk
dikembangkan, sehingga pembelajaran berlangsung secara kreatif, kolaboratif, mengembangkan
pemikiran kritis, dan mempersiapkan kemandirian murid. Sebagai contoh, murid
diajak belajar pengetahuan dan praktik agama pada tokoh agama yang ada di
lingkungan, misalnya pemangku atau sulinggih. Murid akan mendapat pengetahuan
langsung dari ahlinya, yang dapat diterapkan dalam kehidupannya. Contoh lain
adalah mengajak murid mengunjungi industri yang ada di sekitar sekolah,
misalnya pengolahan makanan, restoran, atau hotel. Murid bisa belajar
kewirausahaan, pengelolaan usaha, dan keterampilan khusus yang diperlukan.
Memanfaatkan sanggar seni atau seniman yang ada di sekitar sekolah, guru dapat
membelajarkan murid seni budaya yang berkembang di daerah. Dengan konsisten
melakukan pengelolaan sumber daya yang tepat, maka pembelajaran akan lebih berkualitas.
Hubungan Modul 3.2 dengan Modul Lainnya
Ki Hadjar Dewantara menyatakan “Maksud
pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya
baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat”. Pernyataan Ki Hadjar Dewantara
ini mengandung makna sebuah keterkaitan antara modul-modul yang telah
dipelajari. Berikut ini keterkaitan antara modul 3.2 dengan modul-modul
lainnya.
Modul 1.1 Refleksi Filosofi Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara
Filosofi KHD tentang tujuan pendidikan dan pengajaran adalah mendidik
sesuai kodrat alam dan kodrat zaman, dan menuntun murid mencapai keselamatan
dan kebahagiaan dengan berpikir berbasis kekuatan dan selalu positif thinking
terhadap potensi anak. Dalam mengembangkan potensi murid, guru hendaknya
menghamba pada murid, yaitu memuliakan, mengutamakan, dan berpihak pada murid.
Sebagai manusia yang memiliki kodrat alam, murid bukan kertas kosong yang diisi
apapun oleh guru. Murid sudah membawa garis-garisnya masing-masing, yang
menjadi tugas guru untuk menebalkan garis-garis yang baik agar murid menjadi
anak yang berbudi pekerti. Dalam mengembangkan potensi murid, guru berperan
sebagai petani yang memberdayakan sumber daya yang ada untuk menumbuhkan dan
merawat murid menjadi berkembang dengan baik.
Contohnya, dalam melaksanakan pembelajaran, guru dapat menerapkan budaya
lokal yang ada untuk penumbuhan budi pekerti, seperti kesenian, musik daerah,
dan tarian daerah.
Modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak
Nilai-nilai diri yang dimiliki dan diyakini guru, yaitu mandiri, reflektif,
kolaboratif, inovatif, integritas, nasionalis, religius, dan berpihak pada
murid serta nilai-nilai lainnya sangat penting untuk mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya. Nilai-nilai guru penggerak dapat dijadikan landasan dalam
mengelola aset sekolah untuk mewujudkan merdeka belajar. Demikian pula peran
guru penggerak, sangat berguna dalam mengoptimalkan potensi murid dengan
mengoptimalkan pemanfaatkan sumber daya yang ada.
Contohnya, dalam menjalankan program sekolah, misalnya pelepasan/perpisahan
murid, guru dapat berkolaborasi dengan guru lain dan memanfaatkan sumber daya
yang ada di sekolah, yaitu meja sebagai panggung, pot sebagai dekorasi, murid
untuk mengisi acara, guru-guru dan orang tua menyiapkan konsumsi.
Modul 1.3 Visi Guru Penggerak
Pemberdayaan aset sekolah dengan optimal sejalan dengan visi yang
dirumuskan bersama. Guna mencapai visi yang diidamkan, diperlukan pengoptimalan
kekuatan bersama ke arah positif, sehingga visi sekolah lebih mudah dicapai.
Dalam merencanakan suatu perubahan, dapat digunakan inkuiri apresiatif dengan
tahapan BAGJA. Inkuiri apresiatif berfokus pada aset, potensi, dan kekuatan
yang pemanfaatannya dioptimalkan untuk mencapai visi.
Contohnya, dalam melakukan perubahan lingkungan kelas yang nyaman,
guru dapat memberdayakan aset sekolah, seperti potensi murid, lingkungan, orang
tua, dan rekan sejawat.
Modul 1.4 Budaya Positif
Nilai-nilai yang diyakini bersama di dalam kelas dan di lingkungan sekolah,
bersumber dari potensi yang dimiliki murid dan impian murid atas kelas yang
diinginkan. Untuk menjalankannya, diperlukan kolaborasi semua unsur yang ada di
sekolah. Menghadapi murid yang berperilaku menyimpang, guru dapat menerapkan prinsip
restitusi, yaitu memperbaiki perilaku murid dan memperbaiki hubungan dengan
komunitasnya dengan mengoptimalkan pengembangan diri murid.
Contohnya, dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar, guru
dapat memberdayakan murid untuk melakukan pembersihan dan penataan lingkungan,
saling menghormati dan menghargai, serta bekerja sama. Untuk itu, guru harus
menggerakkan murid, rekan sejawat, dan tenaga kependidikan.
Modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi
Murid memiliki kebutuhan belajar yang berbeda-beda, yang terdiri atas
kesiapan belajar, minat, dan profil belajar sesuai kodrat alamnya. Kebutuhan
belajar murid ini harus dikembangkan sesuai perkembangan zaman. Hal ini sesuai
dengan filosofi KHD, yaitu kodrat alam dan kodrat zaman. Dalam memenuhi kebutuhan
belajar murid yang berbeda-beda, guru dapat menerapkan pembelajaran
berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi dilakukan dengan mengoptimalkan
pemanfaatan aset dan potensi sekolah.
Misalnya, guru dapat melakukan diferensiasi konten dengan menggunakan
sumber belajar yang ada di perpustakaan, pengamatan di lingkungan sekolah,
wawancara dengan warga sekolah. Guru juga bisa memanfatkan laboratorium
komputer, taman, tempat parkir, dan sarana lainnya untuk menunjang
pembelajaran.
Modul 2.2 Pembelajaran Sosial dan Emosional
Dalam melaksanakan pembelajaran dan tugas lainnya, tak jarang guru
mengalami tekanan yang membuat kinerja guru kurang optimal. Kompetensi sosial
dan emosional diperlukan agar guru mampu mengembangkan potensi murid dengan
optimal. Pembelajaran murid tidak hanya untuk kemampuan akademis, namun lebih
penting untuk membekali murid kompetensi sosial dan emosional agar dapat
menyadari emosi, mengelola diri, berelasi, kecerdasan sosial, dan kemampuan
mengambil keputusan. Dalam hal ini, guru dapat mengoptimalkan potensi murid dan
memberdayakan aset sekolah.
Sebagai contoh, guru mengembangkan keterampilan berelasi dengan menerapkan
pembelajaran yang kolaboratif, misalnya pembelajaran kooperatif, PBL, discovery
learning, inquiry learning. Pada akhir semester, guru mengajak murid menyiapkan
makanan bersama dan dinikmati bersama, sehingga timbul rasa saling memiliki dan
saling menghargai. Kecerdasan sosial dapat dibangun dengan mengajak murid dalam
kegiatan berbagi yaitu dengan mengumpulkan makanan pokok untuk disumbangkan
kepada murid kurang mampu ataupun masyarakat disekitar sekolah.
Modul 2.3 Coaching
Coaching memberikan kesempatan murid untuk berkembang dan menggali proses
berpikir pada diri, sehingga metakognisinya meningkat, berpikir kritis dan
mencapai potensi diri yang optimal. Murid dan guru yang mengalami hambatan
dalam proses pembelajaran atau kegiatan lainnya, dapat melakukan coaching untuk
menggali potensinya agar bisa mengatasi hambatan. Coaching dapat dilakukan
dengan meminta kepada orang yang lebih mampu, guru lain, atau kepala sekolah
sebagai coach.
Sebagai contoh, dalam mengatasi hambatan yang ditemui murid dalam
pembelajaran, guru dapat menerapkan teknik coaching untuk menggali hambatan
yang ditemui, kekuatan dan potensinya, langkah-langkah yang direncanakan, dan
tanggung jawab dalam melaksanakan rencana.
Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran
Dalam melaksanakan tugas dan pergaulan di sekolah, kadangkala guru
dihadapkan pada situasi dilema etika atau bujukan moral. Dalam mengambil
keputusan yang mengandung dilema etika, guru dapat menerapkan empat paradigma
dilema, tiga prinsip penyelesaian dilema, dan sembilan langkah pengambilan dan
pengujian keputusan. Selain itu, untuk mengambil keputusan yang efektif tentu memerlukan pemikiran
kearah yang positif dengan berpikir berbasis aset/kekuatan.
Contohnya, dalam menghadapi situasi murid yang tidak mengikuti ulangan
karena alasan tertentu sehingga nilainya tidak tuntas, kadangkala guru
mengalami dilema antara memberikan nilai atau membiarkannya tidak tuntas. Untuk
mengambil keputusan atas situasi tersebut, guru dapat mempertimbangkan berbagai
hal, atau meminta pertimbangan kepala sekolah atau guru lain.
Hubungan antara Sebelum dan Sesudah Mempelajari Modul 3.2
Sesudah mempelajari modul 3.2, saya mengalami perubahan paradigma berpikir
dalam memandang sesuatu. Awalnya saya memandang sesuatu dari sudut pandang
masalah/kekurangan, sehingga yang tampak adalah masalah, kekurangan, atau hal
yang tidak bekerja semestinya. Rencana yang dilakukan juga mengacu pada
penyelesaian masalah saja.
Setelah mempelajari modul 3.2, saya memandang sesuatu dari sudut pandang
aset, kekuatan, dan potensi. Aset yang dimiliki dapat dioptimalkan
pemanfaatannya untuk mengembangkan potensi murid. Saya juga akan berkolaborasi
dengan pemangku kepentingan di sekolah untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset
sekolah.
Adapaun rencana prakarsa perubahan kecil yang berdampak dalam lingkup kelas, pastinya
akan dilakukan seperti disajikan dalam format BAGJA atau 5 D yang sudah
dipelajari pada modul 1.3 sebagai berikut.
.png)

Comments
Post a Comment